Inspirasinews – Jakarta, Keamanan pangan jadi hal krusial dalam perbaikan gizi anak. Sayangnya, masyarakat tidak paham dengan hal itu dan masih menganggap remeh.
Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut, 1 dari 10 orang di dunia sakit setelah menyantap makanan yang terkontaminasi. Dari jumlah itu, sekira 420 ribu orang meninggal dunia setiap tahunnya. Selain gizi, keamanan pangan memang tak bisa diabaikan.
Sementara itu, lima kunci keamanan pangan versi WHO adalah menjaga kebersihan, memisahkan makanan matang dan mentah agar tak terjadi kontaminasi silang, masaklah dengan benar, jaga pangan pada suhu yang benar dan gunakan air dan bahan baku yang aman.
Ketua Pusat Pangan SEAFAST IPB Prof Dr Ir Purwiyatno Hariyadi, MSc, mengatakan, pangan yang dianggap sehat jika tidak aman menjadi tidak berarti. Karenanya, makanan yang akan disantap harus diupayakan aman. Kalau sampai makanan itu terkontaminasi, bisa menyebabkan penyakit.
“Bahan pangan tidak bisa disebut sebagai makanan jika mengabaikan aspek keamanan. Oleh karena itu, pengawasan keamanan pangan harus dimulai bukan sejak pangan diolah, namun sejak diproduksi,” kata Prof Purwiyatno di ajang Asian Congress of Nutrition (ACN) 2019, bertemakan ‘Nutrition and Food Innovation for Sustained Well-being’.
Prof Purwiyatno menambahkan, saat makanan sudah terkontaminasi, pasti akan mengandung kuman seperti bakteri, virus, parasit, atau zat kimia berbahaya. Sehingga berisiko menimbulkan berbagai penyakit.
Terkait dengan keamanan pangan, tambah Prof Purwiyatno, dapat timbul penyakit berbahaya yang mempengaruhi berbagai kalangan orang. Tetapi yang paling rentan adalah anak-anak di bawah usia 5 tahun, serta orang tinggal di wilayah berpenghasilan rendah.
Prof Purwiyatno menilai edukasi keamanan pangan bagi banyak orang dinilai efektif. Pastinya hal ini dapat mengurangi penyakit bawaan makanan. Penyakit tersebut biasanya berkaitan dengan gangguan sistem pencernaan. Beberapa kasus penyakit bahkan bisa menyebabkan kematian.
Bukan cuma sekedar penyakit bawaan, saat seseorang tidak mengonsumsi makanan dengan gizi seimbang, risiko stunting akan muncul.
Seperti yang kita tahu, Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan prevalensi stunting menurun menjadi 30,8 persen dari 37,2 persen di 2013, prevalensi gizi kurang (underweigth) juga membaik dari 19,6 persen pada 2013 menjadi 17,7 persen (2018), sedangkan prevalensi kurus (wasting) turun ke posisi 10,2 persen (2018) dari 12,1 (2013).
Kemiskinan masih menjadi faktor utama penyebab munculnya masalah gizi ini. Karena miskin, tidak semua lapisan masyarakat bisa mendapatkan makanan sehat dengan mudah, sehingga harus dicarikan solusinya, antara lain fortifikasi pangan oleh dunia usaha.
Professor of John Hopkins Bloomberg School of Public Health Prof Martin W Bloem mengatakan, guna memutus mata rantai ini, konsumsi makanan bergizi harus berkelanjutan. Pelaku usaha dalam hal ini dapat berkontribusi dengan menyediakan makanan bergizi, antara lain dengan fortifikasi.
“Untuk menjaga keamanan pangan, ada satu teknologi fortifikasi makanan yang dinilai efektif. Dengan teknologi tersebut makanan olahan disebut tidak hilang gizinya,” ucap Prof Bloem.
Fortifikasi pangan merupakan metode untuk menitipkan senyawa penting yang diperlukan ke makanan untuk meningkatkan nilai gizinya, sehingga lebih mudah dijangkau masyarakat,. Vitamin A misalnya, lazim dimasukkan ke produk margarin dan minyak goreng. Sementara yodium dimasukkan ke dalam garam.
Direktur PT Indofood Sukses Makmur Tbk Axton Salim setuju dengan inovasi tersebut. Dia menyebutkan, dunia usaha memang harus memiliki peran penting dalam mengatasi malnutrisi, antara lain dengan menciptakan makanan sehat (fortifikasi pangan).
“Fortifikasi pangan dapat menggunakan bahan pangan lokal dengan biaya produksi yang tidak mahal. Sehingga bisa dijual dengan harga yang terjangkau masyarakat,” pungkasnya. (Insp01/vnc)