Inspirasinews – Medan, Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sumatera Utara (Sumut) lakukan Restorative Justice atau keadilan restoratif 101 perkara berdasarkan Perja No. 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Restorative Justice atau Keadilan Restoratif hingga September 2023
Kejati Sumut lakukan Restorative Justice 101 perkara itu disampaikan Kepala Kejatisu, Idianto, melalui Kasi Penkum Kejati Sumut, Yos A Tarigan, saat dikonfirmasi wartawan, Minggu (1/10/2023).
Penghentian penuntutan dengan pendekatan RJ di wilayah hukum Kejati Sumut sudah mencapai 101 perkara, urutan teratas dengan jumlah RJ tertinggi adalah Kejari Asahan 10 perkara, disusul Kejari Langkat 9 perkara, Kejari Simalungun 8 perkara, Kejari Labuhan Batu dan Cabjari Deliserdang di Labuhan Deli sebanyak 7 perkara. “Sementata Kejari dan Cabjari lainnya yang ada dibawah wilayah hukum Kejati Sumut bervariasi dari 1 perkara sampai 6 perkara,” sebutnya.
Proses penghentian penuntutan dengan pendekatan keadilan testoratif, sebut Yos, di lakukan secara berjenjang dengan syarat utama tersangka belum pernah melakukan tindak pidana dan ancaman hukumannya di bawah lima tahun.
“Setelah perkara yang diusulkan disetujui oleh Jampidum, kesepakatan damai antara tersangka dan korban akan menciptakan harmoni di tengah masyarakat dan tidak ada lagi rasa dendam berkepanjangan,” ujarnya.
Yos menyampaikan, penerapan Perja No. 15 tahun 2020 tidak semudah yang dibayangkan. Perlu proses dan tahapan yang jelas agar tidak sampai terjadi kesalahan.
“Bukan kuantitasnya yang di utamakan, tapi kualitas dari perkara yang berhasil dihentikan berdasarkan sisi kemanusiaan. Misalnya, seorang ayah mencuri berondolan kelapa sawit milik perkebunan swasta atau BUMN, dari hasil jual berondolan ia mendapatkan uang Rp120. 000 demi untuk membali beras untuk keberlangsungan dapurnya tetap bisa berasap (bisa makan dengan keluarganya),” kata Yos.
Untuk perkara seperti ini, sebut Yos, JPU harus melihat esensi dari kasus yang ditangani, kenapa si ayah tadi mencuri. Berpijak pada alasan kemanusiaan, jaksa dituntut untuk menggunakan hati nuraninya.
“Kalau si ayah tadi dimasukkan ke penjara, ada dua alternatif yang menjadi dampaknya. Bertobat atau malah makin jahat di kemudian hari. Jaksa Agung menjalankan program ini sudah banyak menolong orang agar tidak sampai masuk penjara, di mana antara tersangka dan korbannya dimediasi untuk berdamai dan tidak ada dendam di kemudian hari, ” ungkapnya.
Untuk memediasi perkara-perkara tindak pidana ringan yang hukumannya di bawah lima tahun, sambung Yos, Kejati Sumut juga sudah membentuk rumah Restorative Justice, di mana baru-baru ini Jaksa Agung Muda Pidana Umum meresmikan Rumah RJ di Kabupaten Samosir. (rel/sat)