Medan

Warga Sicanang Curhat ke Pemkot & DPRD: Kembalikan Tanah Kami!

Spread the love

Inspirasinews – Medan, Masyarakat Kelurahan Belawan Sicanang meminta Pemko dan DPRD Medan untuk mengembalikan fungsi tanah hak milik masyarakat terkait dengan kawasan mangrove di wilayah tersebut yang dijadikan Ruang Terbuka Hijau (RTH).

Pasalnya, Perda Kota Medan No. 13 tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Medan telah menyandera pembangunan di Sicanang. Padahal, kawasan mangrove di wilayah Sicanang merupakan tanah masyarakat dan bersertifikat.

“Kami tidak anti pembangunan, justru sangat mendukung pembangunan yang dilakukan Pemko Medan. Kalau memang dijadikan RTH, silahkan. Tapi, harus ada ganti untung dan bukan asal caplok,” tegas tokoh masyarakat Sicanang, Dadang Muhajirin, pada sosialisasi Perda Kota Medan No. 2 tahun 2015 tentang Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) dan Peraturan Zonasi Kota Medan tahun 2015-2035 yang dilaksanakan Wakil Ketua DPRD Kota Medan, Bahrumsyah, di Jalan Tambak, Kampung Sentosa Barat, Lingkungan 20, Kelurahan Belawan Sicanang, Kecamatan Medan Belawan, Sabtu (18/1/2020).

Dadang mengaku, pihaknya keberatan wilayah Sicanang dijadikan RTH. Sebab, lokasi yang dijadikan RTH itu merupakan tanah masyarakat dan bersertifikat.

Apalagi, di wilayah Sicanang terdapat lahan milik perusahaan besar dengan luas ratusan hektar, namun tidak dapat melakukan pembangunan karena dijadikan RTH.

“Kami bukan mau alih fungsi lahan, namun kami minta fungsi tanah kami dikembalikan dari alih fungsi yang tidak benar,” ucapnya.

Senada dengan itu, Khairul, warga Lingkungan 18, meminta Pemko Medan meninjau ulang Perda RTRW tersebut. “Bagaimana kami mau membangun, kalau wilayah kami RTH. Kami tidak menghambat pembangunan, tapi tanah yang kami miliki harus diganti untung,” katanya.

Rudi, warga Lingkungan 19 menyampaikan kalau dijadikan RTH, lebih baik wilayah Sicanang dijadikan hutan saja. “Saya lahir 1974, sejak itu pula tidak ada pembangunan disini. Kalau memang alasannya dana tidak cukup, ya secukupnya saja lahan yang dibebaskan. Kalau memang mau beraktifitas untuk lingkungan, silahkan tapi harus bayar. Jangan di tanah orang,” tegasnya.

Ketiganya mewakili ratusan masyarakat yang hadir tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada, Bahrumsyah, yang memperjuangkan pengembalian fungsi lahan masyarakat yangg sudah terlanjur dijadikan RTH. “Terus terang, revisi Perda RTRW ini sangat membahagiakan kami,” ucap Dadang.

Sementara, Bahrumsyah, menyampaikan revisi Perda RTRW yang akan dibahas oleh DPRD bukan mengalihfungsikan kawasan, tetapi mengembalikan fungsi tanah di Sicanang sebagai hak masyarakat seperti semula. “Silahkan Pemko membuat RTH, tapi harus bayar tanah masyarakat. Kita akan ketok APBD berapa per meternya,” katanya.

Bayangkan, sejumlah perusahaan besar telah memiliki lahan mencapai ratusan hektar dan berencana akan melakukan pembangunan, namun tidak bisa. “Sebenarnya daerah ini emas, tapi terisolir akibat kebijakan yang keliru,” katanya.

Berdasarkan RPJMD, sebut Ketua DPD PAN Kota Medan ini, pembangunan Kota Medan mengarah ke bagian utara. “Bagaimana bisa membangunan, kalau RTH. Bayangkan, gedung sekolah dan rumah ibadah juga dijadikan RTH,” katanya.

Padahal, sebut Bahrumsyah, tidak ada satupun tanah di Sicanang yang tersangkut grand sultan. Apalagi, katanya, tanah tersebut sudah menjadi program Presiden untuk dilakukan sertifikasi hak milik melalui Prona oleh BPN.

“Kalau memang wilayah ini kawasan hutan, tidak akan mungkin kawasan mangrove keluar sertifikatnya oleh BPN. Wilayah ini rata-rata sudah SHM (Sertifikat Hak Milik) dan pembayar pajak tertinggi. Inilah salah satu alasan, mengapa diajukannya revisi Perda RTRW itu,” ungkap Bahrumsyah.

Karenanya, sebut Bahrumsyah, Perda RDTR tidak akan bisa dirubah jika tidak dirubah RTRW-nya. “Kalau RTRW tidak direvisi, maka revisi RDTR juga tidak bisa dilakukan,” ungkapnya.

Sedangkan Kepala Dinas Perumahan Kawasan Pemukiman dan Penataan Ruang (PKPPR), Beny Iskandar, mengaku ada kesalahan dalam membuat Perda RTRW sebelumnya.

“Penetapan RTRW saat itu terburu-buru dan tidak melihat langsung ke lokasi yang ada. Akibatnya, tanah milik masyarakat yang sudah bersertifikat SHM dialihfungsikan menjadi RTH,” katanya.

Karenanya, kata Beny, revisi Perda RTRW nantinya akan meminta masukan masyarakat sebelum disahkan, sehingga Kota Medan benar-benar mempunyai tata ruang yang disepakati oleh semua pihak. “Jangan nanti setelah diketok, ada lagi yang ketinggalan,” paparnya.

Kepala Bidang Tekhnik dan Tata Ruang Bappeda Kota Medan, Ferry, mengakui jika tetap mau dijadikan RTH, maka Pemko harus membayar kepada masyarakat.

Konsep revisi RTRW, sebut Ferry, tidak ada kepentingan, tetapi untuk pembangunan yang lebih merata di setiap wilayah. “Jadi, pembangunan itu tidak menumpuk atau terbebani satu wilayah saja,” ucapnya. (insp01)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *